>> Jumat, 13 Februari 2009

(4 April 2008)

Saat Rutinitas Mengepung Hidup Kita


Lama sekali aku tertidur, aku rasa sudah bertahun -tahun. Aku masih ingat, 31 Desember kemarin aku masih sempat terjaga dan terkejut oleh kerumunan manusia. Mereka membakar kembang api dan meniup terompet, dengan gembiranya, manusia sedunia merayakan satu umurnya pada tahun.

Dedi Darmadi, aktor kelompok teater Hitam Putih, berdiri di sisi tempat tidur di tengah panggung. Sebuah jam yang tergambar samar di dinding "kamar", menggerakkan jarumnya, berputar mengikut perjalanan waktu ke waktu. Cahaya menyiram persis ke sentral panggung, tempat si aktor mulai
bermonolog. Tiba-tiba, dia jumpalitan ke lantai yang penuh dengan tepung putih, kontras dengan suasana panggung yang mencekam.

Tak lama, 3 aktor lain (yang menurut Sutradaranya, Yusril, mereka adalah satu yakni tokoh itu sendiri), yang diperankan oleh Hasan, Andi dan Tomi, muncul dari belakang panggung, membawa payung hitam. Di sini, naskah monolog "Tak Ada Sabtu Sampai Minggu, Hanya Siang dan Malam" milik pemenang sayembara penulisan naskah monolog se Indonesia milik Rozaky,
yang dimainkan kelompok Teater Hitam Putih dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Padang Panjang berubah menjadi permainan kata saling sahut menyahut.

Cerita yang bertutur tentang
"memuakkannya" sebuah kehidupan yang penuh rutinitas dibangun secara apik oleh ke empat pemain yang tampil dengan bertelanjang dada. Mereka berteriak lantang, bergantian, menghujat waktu, menghujat hari-hari.

"Tidak usah ada 7 hari, 5 hari atau 2 hari dalam seminggu. Hanya ada siang dan malam..." ujar ke tiga tokoh "pendamping" itu.

"Hari tidak milik anak sekolah, hari tidak milik orang-orang berdasi, hari bukan milik siapapun. Kita harus mengatur waktu bukan waktu mengatur kita..." sambung mereka.

Apa yang ditampilkan teater Hitam Putih ini menurut Yusril, merupakan satu bentuk keprihatinan terhadap betapa manusia sekarang ini sudah terjebak oleh sebuah rutinitas yang membuat kehidupan itu sendiri menjadi membosankan.

"Manusia sudah salah menafsirkan waktu. Kita bergembira saat ulang tahun ataupun pada tahun baru. Padahal esensinya, saat itu usia kita sudah berkurang, dan kita semakin renta," ujar staf pengajar di STSI Padang Panjang ini.

Sebelum Hitam Putih, tampil sebagai pembuka pada acara malam ke enam
RAAF dan TSS-2008 di Rumahitam adalah Kelompok seni Intro dari Payakumbuh. Mereka naik ke atas panggung dengan mengusung musikalisasi puisi.

Suara Iyut Fitra, penyair muda berbakat asal Payakumbuh terdengar berkarakter, di tengah-tengah iringan musik. Begitu pun dengan Aulia, satu-satunya perempuan di kelompok ini yang dengan suara beningnya mampu menghadirkan suasana berbeda saat melantunkan bait-bait puisi milik Gus tf
Sakai berjudul Keranda.

Sementara, Penyair Hasan Aspahani yang tampil berikutnya, mencoba memberi pelajaran kepada yang hadir malam tadi dengan konsep puisi digitalnya. Meski di kancah kepenyairan saat ini, puisi digital (puisi cyber) mulai memiliki komunitas, setelah munculnya komunitas cybersastra yang
tumbuh dari dunia maya (internet), namun apa yang dibawakan Hasan terkesan "kurang bernyawa".

Wajar, mungkin Hasan lupa, siapa yang tengah menyaksikannya. Malam itu, mayoritas dari ratusan penonton yang hadir adalah terdiri dari kaum ibu-ibu serta masyarakat umum. Lain halnya jika puisi digital miliknya yang bertajuk "Siapkah Kita" itu dimainkan di depan seniman-seniman yang sudah "melek" teknologi.

"Saya memang hanya ingin mengenalkan apa itu puisi digital kepada semua kita yang ada di sini. Puisi digital, memang hanya bisa dinikmati di komputer (laptop)," tukas Hasan.

Pementasan lainnya, sebuah tari "Seligi Tajam Bertimbal" yang dibawakan Grup Leksamana, Pekan Baru. Tarian yang dikoreografero oleh SPN. Iwan Irawan Permadi ini bercerita tentang suasana batin yang diterkam dendam cinta segitiga.

Adalah, Wan Sinari dan Wan Inta, dua bersaudara kakak beradik di sebuah
kerajaan. Wan Sinari sangat mencintai Raja Laksemana, tetapi Raja Laksemana malah meilih Wan Inta untuk dijadikan istrinya (permaisuri). Wan Sinari lalu patah hati dan kemudian timbul rasa dendam.

"Nilai yang tersimpan dari kisah ini, makin tinggi rasa cemburu dalam diri seorang perempuan, makin tinggi pula nilai keperempuanannya," kata Iwan.

Read more...

MENUJU TANGGA KEKUASAAN:

Asril Muchtar

di timur matahari akan terbit

kawanan orang-orang bergerombolan itu bertemu pendakian, kita, setumpak pencarian gaduh dalam zikir. tasbih air mata menuju langit, puncak dari waktu

terjemahkanlah, wahai, beku batu-batu. siapa memancang istana di udara jauh memancang singgasana di tinggi labirin

dan kawanan orang-orang bergerombolan, kita, saling sikut berebut tempat

mencari arah matahari. atau di mana bulan jatuh

“sorga” kau dengar sayat itu?

gelombang nada membakar tanah-tanah. meluap darah

di padang-padang hampar. kitalah para penunggang berpedang

menebas jalan-jalan

menebas harapan

di timur matahari akan terbit

di timur matahari akan terbit

Sepenggal petikan puisi Tangga di atas, yang ditulis oleh Iyut Fitra, penyair yang berdomisili di kota Payakumbuh, Sumatra Barat ini, menjadi teks-teks dialog para pemain dalam pertunjukan teater karya Yusril “Katil”. Karya Dengan judul yang sama, Tangga, ini merupakan karya kolaboratif yang melibat seniman teater, tari, dan musik dari STSI Padangpanjang serta penyair Sumatra Barat. Gagasan karya terispirasi dari percaturan kekuasaan dengan bingkai “demokrasi” ala Minangkabau ditafsir dengan situasi kekinian yang lebih universal. Akting dan gerakan para pemain merupakan kombinasi eksplorasi gerak (tarian) yang ditata oleh Syaiful Erman (STSI) dengan tata laku yang diarahkan langsung oleh Katil sebagai sutradara, sedangkan ilustrasi musik dikomandani oleh Elizar Koto (STSI).

Ini merupakan karya teater eksploratif, yang sangat sarat dengan simbol, tetapi minim kata-kata, mengusung sembilan buah tangga sebagai propertinya. Karya yang melibatkan sembilan pemain yang terdiri dari tiga orang penari dan enam orang pemain teater, telah dipentaskan di gedung pertunjukan Hoerijah Adam STSI Padangpanjang, 13/11/2007. Dan juga dipentaskan pada Festival Kesenian Indonesia (FKI) V di ISI Denpasar pada 21-25 November 2007.

Eksplorasi Tangga

Paling tidak ada delapan konfigurasi-formasi atau “adegan” yang disajikan dalam karya ini. Formasi awal ditandai dengan pemunculan penari laki-laki (Cecep) dengan kostum Minang (ala datuk) menari dengan gerak-gerak eksloratif berbasis silat, sambil memikul tangga sepanjang tiga setengah meter di sisi kiri depan pentas. Ia kemudian memindahkan tangga itu ke punggungnya sambil membungkuk. Sementara di bagian tengah depan pentas, Sarah (Ayu Shahira, mahasiswa STSI asal Kuala Lumpur) dengan kostum merah menyala, melakukan gerak-gerak eksplorasi dengan ruang gerak yang cenderung lebar. Ketika melihat Cecep membaringkan tangga di punggungnya, Sarah berlari dan naik sembari berbaring menelentang di atas tangga itu. Di bawah cahaya lampu yang redup dan musik yang lirih, Cecep terhuyung-huyung melakukan berbagai gerakan dan diakhiri dengan gerakan berputar-putar. Tak sepatah kata pun dialog yang muncul dari mereka. Bagian ini semacam satire bagi perempuan Minangkabau yang dimuliakan, tapi berkuasa seperti wanita besi.

Selanjutnya sembilan tangga disandarkan berjejer di dinding pentas bagian belakang. Diperkuat dengan latar visual art, semua pemain dengan kostum merah, berdiri di puncak tangga, kemudian perlahan-lahan mereka menuruni anak tangga. Beberapa penggal kata mereka ucapkan dengan minim. Kemudian mereka menapaki setiap anak tangga untuk turun dan naik serta berpindah dari satu tangga ke tangga yang lain dengan intensitas kian lama makin cepat. Perebutan tempat ini, memunculkan benturan kepentingan, bahkan juga fisik–saling menyikut. Agaknya dialog lebih terekspresikan melalui simbol movement mereka, ketimbang bahasa verbal. Perjuangan mencari tangga (kendaraan) menuju tangga kekuasaan, mesti dilakukan dengan berbagai cara.

Bagian yang cukup menarik dicatat agaknya konfigurasi-formasi tiga dan empat. Katil mencoba menonjolkan perempuan di atas “singgasana kekuasaan.” Eksplorasi enam buah tangga yang ditegakkan dengan membentuk formasi tiga buah segi tiga sama kaki berjejer diagonal ke kiri pentas. Masing-masing tangga dipegang oleh seorang pemain. Sementara pemain (Indah) menaiki tangga, mulai dari tangga belakang sampai ke tangga depan. Di puncak tangga ia berdiri mengepakkan tangan dan melakukan gerak-gerak ekplorasi sambil mengucapkan teks-teks singkat.

Dengan formasi tangga yang dibentuk seperti menara, seorang penari (Rani) menaiki tangga dan berdiri di puncaknya. Gerak-geraknya cukup berani dan menantang (bahaya). Kemudian ia meluncur turun masuk dalam “perangkap” menara. Tangga direbahkan, ia teperangkap dan terikat dalam tangga. Tak ada sepatah kata pun yang terucap.

Lewat kedua tokoh perempuan itu, agaknya Katil menyindir demokrasi ala Minangkabau dan sistem kekerabatan matrilineal yang memuliakan dan menonjolkan perempuan. Dalam konteks kekinian dan dikaitkan dengan sistem laras bodi caniago (Ketumanggungan) yang memakai keputusan berdasarkan musyawarah di tingkat bawah, dan koto piliang (Perpatih Nan Sabatang) yang menerapkan keputusan berada di tinggkat pimpinan), sudah tidak dianut lagi secara tegas terpisah oleh masyarakat Minangkabau.

Yang tak kalah menarik adalah eksplorasi yang dilakukan oleh seluruh pemain dengan mengusung tangga menjelajahi setiap lini pentas. Mereka berlari mencari ruang kosong dan mengisinya silih berganti. Tampak ketegangan dan kesembrautan berpadu dengan ekspresi menyeringai di wajah mereka. Eksplorasi ini dilanjutkan dengan menghentakkan tangga ke lantai sambil membentuk lingkaran. Seolah-olah mereka terkerangkeng dalam jeruji medium mencari kekuasaan. Lalu mereka menjatuhkan tangga masing-masing ke lantai. Tampak bagaikan kelopak-kelopak bunga berguguran.

Tergerusnya Budaya

Sebagai penutup, eksplorasi tangga seperti membentuk replika rumah gadang. Dengan latar belakang visual art yang digarap oleh Dede Pramayoza, para pemain duduk dan berdiri di atas dan di bawah rumah gadang. Sarah menuruni tangga dengan eksplorasi-eksplorasi gerak yang dipadu dengan beberapa gerak tari piring tradisi Minang. Ia bergerak ke depan di atas dua buah tangga yang direbahkan memanjang ke arah depan. Sementara di tengah tangga itu terletak sebuah carano sebagai simbol ketulusan hati dan pendamai dalam berbagai kegiatan adat di Minangkabau. Carano yang biasanya diisi dengan daun sirih dan buah pinang, kali ini diganti dengan ratusan permen, diangkat oleh Sarah dan dibagi-bagikannya kepada para penonton. Ini benar-benar sebuah simbol tergerusnya budaya oleh berbagai kepentingan (terutama politik).

Karya yang berdurasi sekitar 55 menit ini, sejatinya memiliki etika konvensional. Seperti ungkapan “bajanjang naiak batanggo turun”. Segala sesuatunya sudah ada aturan dan tata caranya. Akan tetapi benturan muncul ketika situasi kekinian tidak lagi tertampung dalam koridor adat. Bagaimanapun Katil dan kawan-kawan telah menyajikan sebuah penawaran sajian teater kolaborasi yang berimbang (Gong, edisi 96/2007).

(Untuk mempresentasikan itu, Katil lebih memilih bahasa simbolik melalui eksplorasi gerak, musik, dan tangga yang bersifat multi tafsir serta memberikan makna lebih luas, ketimbang bahasa verbal. Meskipun ia sebenarnya sudah berupaya menghadirkan penggalan kata atau kalimat. Tetapi itupun masih perlu ditafsir karena teks verbal yang muncul berasal dari puisi. Akhirnya teks dialog sering diabaikan oleh penonton. Katil bahkan sengaja memilah peran pemain. Kepada para penari misalnya, sedapat mungkin mereka tidak diberi kesempatan berkata-kata. Sebagai sebuah pertunjukan, Katil dan kawan-kawan telah menyajikan sebuah penawaran sajian teater kolaborasi yang telah berimbang).

Padangpanjang, 19 November 2007

Asril Muchtar

Staf Pengajar STSI Padangpanjang, pemerhati seni pertunjukan

Read more...

MUSIM KEMATIAN BUNGA:

Asril Muchtar

Malam itu cuaca begitu cerah. Tanda-tanda itu sudah kelihatan sejak siang hingga sore harinya. Langit biru. Tak tampak seonggok awan pun menggantung di angkasa. Padahal beberapa hari sebelumnya Padang diguyur hujan. Inilah barangkali keberpihakan alam kepada Yusril “Katil”, teaterawan dan sineas muda Sumatra Barat, yang juga dosen STSI Padangpanjang. Pada malam (25/6/2006), ia menayangkan karya filmnya, “Musim Kematian Bunga” di Teater Tertutup Taman Budaya Padang. Gedung yang tidak begitu besar itu, dipenuhi oleh kalangan seniman terutama, dan oleh sejumlah mahasiswa. Juga turut hadir Prof Dr Rahayu Supanggah dan Dr Waridi, yang bertindak sebagai penguji. Film ini memang disiapkan sebagai tugas akhir Studi S2 Penciptaan Film di STSI Surakarta. Sebelum penayangan film, terlebih dulu diawali dengan pembacaan puisi “Musim Kematian Bunga” oleh Iyut Fitra dan Risa yang sangat ekspresif sekali. Secara tidak langsung keduanya telah menjadi simbol personifikasi “musim” dan “bunga”.

Film ini merupakan transformasi dari puisi dengan judul yang sama, “Musim Kematian Bunga”, karya Iyut Fitra, penyair Indonesia yang berasal dari Payakumbuh Sumatra Barat. Puisi itu bercerita tentang cinta seorang penyair terhadap seorang perempuan yang berbeda kepercayaan (Islam dan Kristen). Perbedaan ini akhirnya menjadi konflik, dan menyebabkan keduanya menjadi berpisah dan tidak bahagia. Musim dan bunga dalam realitasnya adalah dua entitas alam. Bunga bergantung pada ruang dan waktu (pergantian musim). Tetapi puisi itu diinterpretasikan kembali oleh Katil. Konflik tidak hanya pada perbedaan keyakinan, tetapi juga pada realitas sosial. Pergaulan dalam lingkungan Minangkabau, dewasa ini disinyalir tidak lagi mencerminkan budaya Minangkabau.

Musim diperankan oleh Wendi (alumni jurusan teater ISI Yogyakarta). Ia berperan sebagai seorang penyair Sumatra Barat yang islami. Sementara Bunga diperankan oleh Reni Candra, mahasiswa jurusan tari STSI Padangpanjang. Reni memerankan tokoh Bunga yang kristiani, modern, dan berpenampilan orang kota. Dengan latar belakang penari, tokoh Bunga dimunculkan sebagai seorang koreografer, yang berpentas di berbagai tempat dan event, khususnya di Taman Budaya Padang.

Dalam menunjang kreativitas kepenyairannya, Musim membentuk komunitas sastra yang menekuni penulisan puisi, dan bermain teater. Salah seorang anggotanya Hati, yang diperankan oleh Nora mahasiswa jurusan musik STSI Padangpanjang, sangat tekun mendalami puisi. Nora, secara diam-diam ternyata menaruh simpati yang dalam terhadap Musim, tetapi Musim meresponnya sebatas muridnya saja. Pemunculan identitas koreografer dan Hati, merupakan pengembangan naskah dari teks asli puisi oleh Katil.

Pertemuan Musim dan Bunga yang cukup berkesan, saat Bunga pentas tunggal koreografinya di Taman Budaya Padang. Kepiawaian Bunga menari dan keelokan koreografinya, memberikan decak kagum bagi Musim. Usai pentas, Musim mendekati Bunga dan memberikan ucapan selamat, sembari mengucapkan kata-kata yang penuh puitis dan filosofis. Ungkapan ini menggugah perasaan Bunga, sehingga berlanjut pada diskusi-diskusi yang makin intens di antara mereka.

Pertemuan mereka ini hampir tidak menyisakan waktu buat Hati. Hati seperti kehilangan sesuatu, tetapi ia tidak mau mengungkapkannya. Kekecewaan, kerinduan, dan kesedihannya sering diungkapkannya melalui puisi dan bermain harmonika dengan melodi yang sentimental. Itu ia lakukan berulangkali, sepanjang suasana hatinya tidak nyaman.

Musim dan Bunga makin bersemi. Laksana kuncup bermekaran di musim semi. Ketika situasi ini mereka nikmati, justru benturan-benturan mulai muncul. Hubungan Bunga dengan Musim diketahui oleh bapaknya. Bunga dilarang berhubungan dengan Musim, karena tidak seiman. Sementara Musim mulai goyah dengan identitasnya yang islami dan Minangkabau. Komunitasnya mencium gelagat Musim, tapi apa daya ia sudah terlanjur jatuh cinta pada Bunga.

Akibat tidak konsisten dengan pendirian dan sikap masing-masing, pilihan mereka ternyata berakibat fatal. Kepenyairan Musim ditinggalkan teman dan sahabatnya. Pentas baca puisinya tidak lagi ditonton. Ia menjadi frustasi dalam kesendiriannya dan meninggal dengan tragis. Sementara Bunga, yang minggat dari orang tua atas kekecewaannya, pergi tidak tentu arah. Menggelandang kian kemari. Ia kehilangan jati diri sebagai seorang koreografer, dan frustrasi dalam ketidakberdayaan. Hati dengan ketegaran hatinya, meneruskan karirnya sebagai penulis puisi.

Film yang berdurasi sekitar 80 menit ini, mengambil setting lokasi Payakumbuh, Bukittinggi, Padangpanjang, dan Padang (Taman Budaya). Untuk kalangan masyarakat awam, film ini memang absurd sekali. Film, sebagaimana lazimnya bersifat naratif. Dialog-dialog yang dibangun bersifat natural dan realis, dalam bahasa keseharian. Tidak sulit untuk dipahami. Berbeda dengan film Musim Kematian Bunga, dialog-dialog yang disampaikan oleh aktor dan aktrisnya sangat puitis. Sedikit sekali yang disampaikan dalam bahasa yang natural dan realis. Memang konsep inilah yang ditawarkan oleh Katil.

Sebagaimana ia katakan: “Puisi diciptakan dalam suasana perasaan intens yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Menghadapi puisi, kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun merupakan satu kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair.” Simbol-simbol yang terdapat dalam puisi adalah pada kata-kata. Melalui film ini, Katil mencoba menvisualisasikan dan mempersonifikasikan simbol-simbol itu dalam bahasa gambar. Namun dalam penggarapannya, ia tetap mempertahankan unsur-unsur pengucapan puisi. Disadari bahwa cara ini berakibat, terjadi sesuatu yang tidak natural dan realis.

Secara keseluruhan film ini tentunya juga memiliki sisi lemahnya. Ilustrasi musik yang agak keras, kadang-kadang dominan sekali, terasa sangat mengganggu. Bahkan kehadiran musik pada beberapa adegan, mengalahkan dialog, sehingga dialog antar pemain tidak jelas didengar. Barangkali, sebaiknya tidak semua bagian atau adegan diisi dengan musik secara penuh. Adakalanya musik dimulai dengan feed-in, dan diakhiri dengan feed-out. Tetapi ini memang disadari oleh Katil dan Cholis sebagai penata musik, bahwa pencapaian dan penempatan musik belum maksimal.

Khusus pada editing, pencahayaan, dan ketajaman gambar, Katil hanya terkendala pada peralatan yang digunakan. Amat sulit mencari peralatan yang standar untuk syuting dan proses editing film di Sumatra Barat. Sebagai seorang sineas, secara teknis ia hampir tidak mengalami masalah, kecuali hanya pada peralatan yang digunakan. Selamat Katil. Kalau tidak keliru, Anda adalah orang pertama Magister Film di Indonesia produk perguruan tinggi Indonesia.

Padangpanjang, 4 Juli 2006

Asril Muchtar

Pengajar STSI Padangpanjang

Juni 18, 2008

Read more...

dari httw.kompas

DI Sumbar, pembikinan film ini merebak sampai mana-mana, menusuk sampai ke daerah yang permai, Payakumbuh. Di daerah yang antusiasmenya terhadap sastra sangat tinggi ini, puisi kini diangkat ke film, seperti film Musim Kematian Bunga produksi Komunitas Seni Intro Payakumbuh. Film ini didukung para seniman/ penyair seperti Iyut Fitra, Dian Prima Warta, Adek Roro Wulan Rastika, Topan Dewi Gugat, Fira Susanti, dan lain-lain. Musim Kematian Bunga yang disutradarai Yusril SS hanya salah satu, dari karya-karya lain seperti Malin Kundang Milenium (Alwi Karmena), Mendayung Biduk Tiris (Drs M Yusuf H Mum), Surau (Syahindra Buana), Teror (Yanuar GN), dan masih banyak lagi.
Mereka terhitung serius. Berbagai diskusi atas karya-karya tersebut digelar, antara lain di Taman Budaya Provinsi Sumbar, di kampus Universitas Bung Hatta, dan di Universitas Andalas. Aktivitas ikutannya, berupa dibentuknya Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Artis Sinetron Indonesia (Parsi) bulan Juni lalu. Kepengurusan itu dilantik oleh artis Anwar Fuady yang setia memakai baju merk Versace.
Atau di Batam, ketika dua anak muda yang juga dikenal sebagai wartawan harian Lantang, Moch Ryan Djatnika dan Tarmizi hendak membikin film yang berkisah tentang tenggelamnya nasib nelayan dalam judul Tenggelam, ternyata dukungan masyarakat setempat begitu besar. Katanya, dari sumbangan masyarakat terkumpul Rp 25 juta untuk membikin film ini.
“Kami tak mengira, respons dari pemerintah maupun masyarakat begitu kuat mendorong kami untuk berkarya. Bagi kami, dukungan dari masyarakat jauh lebih penting ketimbang film yang kami buat. Uang itu kami gunakan untuk membiayai film termasuk honor dan uang transportasi para pemain,” ungkap Tarmizi.
Segala keterbatasan prasarana agaknya diharapkan melahirkan “keajaiban”. Tiga mahasiswa Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara, Aap, Cici, Ida, ingin mengkonkretkan cita-cita mereka membuat film. Maka, mereka pun membuat film bertema psikologis, Jiwa Terpasung.
“Waktu ngambil adegan berangkat ke luar negeri, diam-diam kita masuk ke Bandara Polonia di terminal keberangkatan luar negeri. Untuk mengambil suara pesawatnya dan merekam gambar pesawat saat take off, terpaksa aku harus berdiri di atas kap mobil Cici yang panasnya minta ampun. Hasilnya lumayan. Selain kaki terbakar, suaranya juga bisa terekam…” kata Firman, yang bertugas sebagai juru kamera.
Di Bandung, sekelompok anak muda yang menyebut diri mereka Safers (singkatan Sarekat Felem Mekers) berencana membuat film berjudul Episode IV yang akan mereka produksi tahun depan. “Kalian tahu enggak apa yang kudu kita cari? Orang paling gendut se-Bandung,” kata Ervin, salah satu dari kelompok itu. Mereka membikin film, tambahnya, “Sebelum kami mencapai hidup yang mapan, menjadi pegawai negeri yang tiap hari naik vespa ke kantor dan punya keluarga yang menunggu di rumah mungil dengan kebun bunga.”

Juni 18, 2008

Read more...

Menggugat Demokrasi Minangkabau

Catatan Pementasan “Tangga” Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang

OLEH NASRUL AZWAR

Pada Pentas Seni II Tahun 2002 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatra Barat, Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand hadir dengan pertunjukan berjudul “Jenjang”, karya dan sutradara Prel T.

Saat itu, Prel T mengatakan, “Jenjang” digarap dengan konsep eksperimen yang difokuskan adalah teknik estetis pertunjukan. Seluruh pengadegan didominasi oleh konsep fungsional. Pembentukan set di samping bersifat statis, juga dinamis. Maka dengan sendirinya set dibentuk melalui pembentukan adegan. Sentral performance adalah ruang (bukan bidang). Seluruhnya memanfaatkan sejumlah jenjang (dalam berbagai ukuran) sebagai properti utama.

Pertunjukan Teater Eksperimental KPDTI itu telah lewat 5 tahun lalu. Saat itu, saya mencatat, pertunjukan “Jenjang” berhasil dalam konsep eksperimental, tapi gagap dalam penyampaian isi dan pemeranan. Sehingga yang terlihat di atas panggung adalah seperti seorang khatib menyampaikan kutbahnya. Idealnya sebuah pertunjukan teater, tentu, keduanya—konsep garapan dan pemeranan—sebuah yang inheren dan terintegrasi. Keduanya mesti sama-sama diperjuangkan.

Pekan terakhir Juli lalu, 21 Juli dan 27 Juli 2007 di Kota Padang Panjang dan Padang, publik teater disuguhkan dengan pertunjukan teater yang juga eksperimentatif dalam garapannya, yakni pertunjukan teater berjudul “Tangga” yang dipentaskan oleh Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang, sutradara Yusril.

Dari informasi yang diperoleh, “Tangga” bersumber dari dua karya dari penulis yang berbeda, yaitu puisi “Tangga” karya penyair Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T. Inti dari cerita seputar sistem kekuasaan di Minangkabau yang bersumber dari ideologi Datuk Katumanggungan (Koto Piliang) yang lebih cenderung feodalistik dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Bodi Caniago) yang mengarah demokratis dan egaliter. Kedua ideologi itu tidak dimaknai dikotomis oleh masyarakat Minangkabau, tapi lebih pada tataran sinergitas.

Pementasan “Tangga” mengesankan kehendak untuk menyampaikan hal demikian. Maka, muncullah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tokoh-tokoh di atas pentas, seperti bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), duduak sahamparan, tagak sapamatang (duduk sehamparan dan berdiri sepematang), indak kayu janjang dikapiang (tiada kayu jenjang dikeping) lah jatuah diimpik janjang (sudah jatuh tertimpa tangga), dan lain sebagainya yang merupakan idiom-idiom sosial yang sangat akrab dengan masyarakat Minangkabau.

Malam itu “Tangga” dibangun menjadi situs atau lokasi dalam sebuah ruang yang dikonstruksi secara sosial dengan simbolisasi yang relevansinya kadang lepas. Tokoh-tokoh yang niridentitas diberi beban yang cukup rumit dan rijit untuk memanifestasikan makna-makna simbolik dalam sebuah ruang yang sarat dengan kehendak, keinginan, dan juga ambisi, yang akhirnya semua tak terkendali dan tak fokus. Pementasan “Tangga”, malam itu, 27 Juli 2007 di Taman Budaya Sumatra Barat, seperti kehilangan konsentrasinya dan melupakan basis yang sebenarnya telah jadi kekuatan Komunitas Hitam-Putih selama ini, yakni eksploratif dan semiotif visual. Dan saya membandingkan ini dengan pertunjukan sebelumnya, yaitu “Menunggu” dan “Pintu”, sekadar menyebut contoh saja.

Praktik-praktik pemaknaan atau aktivitas penciptaan makna yang selama ini demikian kaya hadir dalam setiap garapan Komunitas Seni Hitam-Putih, seolah tak saya jumpai lagi di “Tangga”. “Tangga” seperti sebuah antiklimaks perjalanan teater kelompok ini. Dalam catatan saya, dan ini bisa diperdebatkan kembali, bahwa Komunitas Seni Hitam-Putih terasa kurang pas bermain dalam tema-tema yang terkait dengan tradisi kultur Minangkabau, dan mereka sepertinya mesti belajar lebih banyak terkait dengan Minangkabau.

Namun demikian, selama ini, sesungguhnya, kelompok ini telah menemukan bentuknya dalam ranah eksploratif dengan tema kontemporer yang universal, dan isu-isu posmodern. Dan gaya ini sesungguhnya telah terbangun sejak berdirinya kelompok ini tahun 1996.

Sepanjang hampir satu jam pertunjukan “Tangga” dengan penjejalan tubuh-tubuh aktor, yang katanya fungsional sebagai properti pentas dan fungsionalisasi propereti tangga (yang jumlah sama banyak dengan aktor, yaitu 8 (delapan), tentu memberi warna lain dalam perkembangan teater di Sumatra Barat. Paling tidak, konsepsi garapan dan bentuk pemanggungan, bagi saya memang berbeda dengan kelompok-kelompok teater lainnya. Kekuatan estetik dengan konsepsi yang membuka kemungkinan-kemungkinan tafsir di atas pentas, adalah kelebihan “Tangga”, tapi—seperti disebut sebelumnya—gagap dalam pemeranan.

Delapan buah tangga yang diusung masing-masing pemain, seperti videp klip yang menghadirkan penggalan-penggalan peristiwa: tangga kadang dikonstruksi sebagai alat untuk meraih kekuasaan, bangunan penjara kekuasaan, alat penindas bagi penguasa, menara kekuasaan, pembatas kekuasaan, jembatan untuk berkuasa, beban kekuasaan, keranda mayat akibat kekuasaan, dan sebagainya.

Dengan mengenakan busana merah, depalan orang dan delapan jenjang, yang sukar diidentifikasi emosionalnya karena mamang ke delapan orang yang ada di pentas itu niridentitas: Mereka tak punya titik simpul dalam tataran sosial. Maka, hal itu tak mungkin dilakukan. Mengurai identitas delapan tokoh-tokoh itu sama saja dengan mereduksi dalam struktur sosial yang stabil. Mereka bukan berada dalam regularitas sosial dengan memakai pola-pola sosial yang mapan. Mereka adalah representasi sosial yang cenderung resistensif terhadap tatanan yang sosial.

Maka, semua dialog yang muncul di atas pentas, seperti sebuah bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian yang dimanifestasikan dalam beragam gerak dan konstruksi simbol-simbol. Simbol yang dibangun pun kadang bertolak belakang dengan ucapan tokoh. Kata-kata hanya merupakan teriakan di tengah galaunya sistem sosial dan kekuasaan.

Sehingga, content yang susungguhnya tak perlu lagi secara verbal disampaikan aktor, menjadi kehilangan maknanya. Ucapan-ucapan yang dikeluarkan dari mulut aktor, menjadi artifisial. Kadang, dialog atau kalimat yang melompat itu, kontradiktif dengan bangunan “peristiwa” teater yang sedang berlangsung di atas pentas. Dalam tradisi Minangkabau, pepatah bajanjang naik batanggo tidak dimaknai secara verbal dan artifisial dengan melakukan gerak turun naik tangga, tetapi lebih kepada mekanisme dan regulasi dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Di “Tangga” aktor melakukan gerak turun naik tangga dengan sangat verbalistik.

Gerak, yang tampaknya banyak dikolaborasikan dengan koreografi, terlihat tak mampu mempertegas maknawi teks yang sastrawai itu. Tokoh-tokoh, karena demikian banyak beban “Tangga” yang ingin disampaikan, tampak lelah. Penggunaan bahasa dalam rentang satu jam itu, mengesankan seperti bukan berasal dari hubungan antarkata yang kompleks, dan bukan berangkat dari karakteristik tokoh-tokoh yang hakiki. Makna kata dan kalimat dialog tokoh-tokoh tidak menemukan relasional dan kontekstualnya. Ada yang lepas antara simbol yang dikontruksi dengan ucapan tokoh.

Maka, beberapa aspek yang sangat perlu didiskusikan lebih lanjut adalah persoalan aktor dan pemahaman naskah itu sendiri. Proses teater bukan semata menuju pada bentuk pertunjukan, tapi, teater juga terkait dengan sejauh mana pemahaman aktor dan juga elemen lain (musik, pencahayaan, dan juga penasihat spiritual Komunitas Seni Hitam-Putih) terhadap tema-tema yang digarap.

Pada “Tangga” saya menjumpai bagaimana aktor kurang demikian akrab dengan apa yang disebut dengan simbol-simbol dan kalimat-kalimat penuh filosofi yang dijadikan basis garapan Komunitas Seni Hitam Putih. Dan kasus serupa juga terjadi saat Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand mementaskan “Jenjang”, kendati untuk menghadirkan simbolisasi, memang lebih kaya Yusril.

Tapi, sisi yang menarik adalah pemanfaatan dan eksplorasi panggung yang dilakukan Yusril cukup inovatif: Pentas bisa saja hadir di dinding panggung dan samping panggung. Apa yang dikatakan dengan “meruang” tampak menemukan realitasnya. Gaya demikian tentu dimaknai sebagai suatu praktik pemaknaan yang melibatkan objek-objek (tangga dan ruang pentas) dalam kaitannya untuk membangun semiotika visual sebagai tanda kultural.

Selain itu pula, satu hal yang juga menarik, saya melihat pertunjukan ini sukses dari sisi penonton, lebih kurang 200-an penonton memenuhi Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, malam itu. Tapi, saya juga bertanya-tanya, apakah penonton nyaman menikmati pertunjukan itu? Semoga saja. ***

Read more...

Catatan Pementasan "Tangga" Hitam-Putih Indonesia

Menggugat Demokrasi Minangkabau
Oleh Sahrul N

“dengarlah, kusampaikan padamu sebaris kisah di sebuah gunung merapi yang dulu sebesar telur itik, lama setelahnya, dari dua lelaki seibu berbeda ayah lahirlah sistem bernama laras dua lelaki yang berbeda pikiran, orang menyebutnya koto piliang dan bodi caniago berjenjang naik, bertangga turun dan duduk sehamparan, tegak sepematang bagai lukisan perdamaian”

Dialog demokrasi tak bernama inilah yang diusung dalam pementasan teater yang berjudul “Tangga” sutradara Yusril dari Komunitas Seni Hitam Putih Padangpanjang Sumatra Barat. Pementasan yang berdurasi sekitar satu jam ini ditampilkan di STSI Padangpanjang tanggal 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat pada tanggal 27 Juli 2007. Karya seni teater ini terinspirasi dari dua karya sebelumnya yaitu puisi “Tangga” karya Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T.

Berjenjang naik, bertangga turun, merupakan sistem pemerintahan di Minangkabau yang dicanangkan oleh Datuk Katumanggungan atau yang lebih dikenal dengan kelarasan Koto Piliang. Sistem ini memakai pola top down atau segala sesuatunya ditentukan oleh pemimpin kekuasaan. Seperti dialgog “hitam kataku hitam, putih kataku putih”. Suau keputusan yang tidak lagi bisa diganggu gugat.

Berbeda halnya dengan kata-kata Duduk sehamparan, tegak sepematang, yang merupakan kata-kata dalam sistem pemerintahan di Minangkabau yang dicanangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang atau yang lebih dikenal dengan kelarasan Bodi Caniago. Sistem ini memakai pola segala sesuatunya ditentukan oleh musyawarah dan mufakat.

Kedua sistem ini tumbuh dan berjalan dalam waktu yang sama dari dulu sampai sekarang. Masyarakat Minangkabau tidak mempersoalkan perbedaan diantara keduanya, tetapi mengkolaborasikan keduanya atau berjalan beriringan dan saling membantu. Dua sistem yang bertolak belakang namun saling membantu menimbulkan pertanyaan, demokrasi apakah yang yakini oleh masyarakat Minangkabau?

Kolaborasi sistem pemerintahan ini diwujudkan dalam bentuk teater kontemporer dengan konsep akting distorsi dimana tubuh tidak lagi menjadi tubuh yang sebenarnya. Tubuh aktor adalah tubuh tanpa jenis kelamin, dia bisa menjadi tubuh sosial, tubuh budaya, tubuh akrobatik, tubuh tak terhingga dan tubuh ikonitas. Tubuh ini menciptakan ruang makna yang beragam dalam diri masing-masing aktor. Keinginan untuk setiap bagian tubuh bicara banyak makna merupakan hal yang sangat menentukan. Namun sayang, dialog puitis yang menjadi arah peristiwa kadang-kadang diucapkan oleh aktor tanpa tendensi makna, sehingga kata tersebut berlalu begitu saja.

Lewat bantuan properti tangga yang jumlahnya sebanyak jumlah aktor (delapan), pencarian ekspresi tidak dalam bentuk datar namun meruang ke segala arah. Lantai pentas bisa ada dimana-mana, tidak hanya horizontal namun juga vertikal. Properti dari kayu ini menciptakan ruang makna yang tak terhingga dan diekplorasi sedemikian rupa menjadi ikon-ikon yang menupang ikon-ikon tubuh aktor. Tangga bisa menjadi pentas itu sendiri, bisa juga menjadi penjara, menara, pembatas, jembatan, beban, keranda, dan sebagainya. Akan tetapi pencarian eksplorasi properti ini pada bagian-bagian tertentu bisa menjadi verbal dan tanpa ikonitas.

Begitu juga dengan peristiwa yang diambil dari mitos Minangkabau ini hanya sebagai alat untuk mengungkap sesuatu yang lebih universal. Peristiwa demokrasi tanpa judul ini diaktualisakan dengan demokrasi secara menyeluruh yang ada di bumi ini. Peristiwa perang dengan segala akibatnya dan penjajahan peradaban oleh negara maju terhadap negara berkembang dan terbelakang, menjadi sorotan kemanusiaan karya ini. Bisa dilihat dalam dialog “di timur matahari akan terbit” bisa menjadi indikasi bahwa ada perlawanan keras terhadap hegemoni barat.

Ikon-ikon Minangkabau menjadi referensi penting dalam pertunjukan ini. Gerakan silat, bahasa, carano (tempat sirih) dan lain-lain dalam seluruh peristiwa adalah ikatan tematik yang coba dipertahankan oleh sutradara dalam rangka memadukan struktur. Boleh saja bicara lokal, namun makna yang ingin disampaikan tidak lagi lokal. Hal ini merupakan upaya untuk pencarian makna yang melampaui realitas.

Pembesaran makna dari peristiwa mitologi Minangkabau ini, kadangkala membuyarkan identitas persoalan yang sebenarnya. Klip-klip peristiwa memang diusahakan semaksimal mungkin memiliki hubungan struktur yang padu, akan tetapi sering pula terputus. Atau memang ini yang diinginkan Yusril? Sesuatu yang seluruhnya distorsi? ***

Read more...

Kalau Saja Ada Tangga ke Langit

Oleh Zelfeni Wimra

Kalau saja ada tangga ke langit, tentu banyak orang yang suatu waktu ingin menaikinya. Tinggalkan sejenak kehidupan dunia yang hiruk dan semakin sesak oleh ketakberaturan nilai-moral. Manusia semakin terdesak oleh kecepatan perubahan dan sangat berhasrat untuk melupakan pikiran-pikiran yang sering melompat melampaui realitas.

Tapi bukankah, kita (manusia itu) beserta hewan yang melata lainnya, telah lama terdampar sejak Adam dan Hawa diusir lantaran tidak sabar menunggu kapan saatnya menaiki tangga untuk memanjat batang Quldi dan memetik buahnya. Keterburu-buruan ternyata telah mengantar mereka -hingga ke kita- pada pilihan yang sering tidak sesuai dengan naluriah kemanusiaan itu sendiri.

Makanya, setelah berkurun-kurun melata di muka bumi, ketidakpuasan manusia terhadap realitas serta tuntutan pemenuhan kebutuhan yang penuh perebutan membuat mereka merasa lemah. Sehingga, perlu ada tambatan jiwa, tempat berlindung, dan mohon pertolongan. Tetapi tempat bernaung dan minta pertolongan itu selalu menjadi rahasia. kadang terasa tinggi sehingga diperlukan alat untuk mencapainya. Jika ketingiannya bisa dihitung jengkalan, seorang seseorag tentu tidak perlu terlalu panik memikirkan. Alternatif alat mencapai ketingian tersebut bisa saja dengan bantuan alat-alat lain.

Materi; benda kasat mata yang lazim untuk mencapai ketingian adalah tangga. Hal serupa terjadi jugakah pada proses pencapain imateri? Ketika ketingian “sesuatu” yang hendak di capai itu menyamai langit, tangga seperti apa gerangan yang bisa mengantar seorang manusia itu tadi?

Asumsi sementara dapat dinarasikan bahwa semakin banyak ketinggian, semakin beragam pula tangga yang digunakan untuk mencapainya. Serta tak terhitung bagaimana cara membuat dan menggunakan tangga.selama manusia suka ketinggian, selama itu pula tangga diperlukan. Dari sini bisa disimpul sebuah opini, bahwa aktivitas pencarian yang tinggi, tempat menemukan perlindungan tersebut akan terus berjalan sepanjang kehidupan itu sendiri.

Mengidentifikasi Ketinggian

Banyak orang menyugesti dirinya dengan sebuah istilah bijak: gantungkan cita-citamu setingi bintang di langit. Ini pekerjaan terus dilakukan manusia turun-temurun; berulang-ulang. Merancang sebuah kehidupan dengan pengandaian yang dibahanbakari imajinasi dan kehendak ingin lebih baik dari hari ke hari.

Menjadi presiden tentu amat tinggi bagi seorang tukang becak [memang tidak setingi bintang di langit], tetapi si empunya keinginan tersebut telah dihukum kausalitas. Pertama-tama ia tentu harus pintar. Bisa menguasai, misalnya bahasa Inggris dan mencapai sejumlah gelar dengan sertifikasi yang diakui. Seterusnya, ia tentu harus kaya, guna memenuhi tuntutan sistem politik yang mengharuskan seorang pemimpin bangsa punya kecakapan finansial untuk membeli massa [ini terjadi tentu tidak di Indonesia saja].

Menjadi pintar dan kaya adalah dua tangga yang mesti dilalui oleh si tukang becak jika bercita-cita jadi presiden. Dan sudah menjadi rahasia umum ketika cara mengunakan tangga untuk menncapai ketinggian yang diidam-idamkan itu juga ada teknik dan strateginya. Tidak tertutup kemungkinan, semua siasat yang dipilih tiba-tiba halal dalam hitungan jari. Perumpamaan ini bisa diteruskan ke hal lain yang terkait dengan hasrat manusia yang suka ketinggian.

Apalagi yang tinggi selain tahta dan sejumlah cita-cita manusia dalam kehidupan duniawi? Mungkin Tuhan. Tuhan Juga tinggi.

Kabar yang menggelisah inilah ditemukan dari perjalanan estetik seorang Yusril, teaterawan berdarah Minang yang intens dengan sebuah kredo ‘distorsi’ dan dekonstruksi pada proses penggarapan Tangga.

Naskah Tangga pada mulanya hanya rentetan teks puisi yang ditulis Iyut Fitra, konon setelah berdiskusi dengan Yusril. Memang bukan Yusril namanya, kalau teks puisi atau teks apa saja sudah sampai di “rumah” kreativitasnya lantas tidak ada tawaran visualisasi yang akan dibantai dengan pisau distorsi dan dekonstruksi itu tadi.

Pada penggarapan sebelumnya, Yusril pernah dipergunjingkan kritikus teater sebagai seorang arsitek yang akan membangun sebuah rumah. Barangkali itulah rumah estetik yang dirindukannya sebagai pekarya teater yang sudah melewati penempuhan panjang penciptaan. Sebelumnya, dengan mengusung nama Komunitas Hitam Putih, ia telah menggarap Jendela, Cermin, Kamar, Pintu, dan hingga kini Rumah tersebut sudah rampung. Kabarnya, Yusril juga sudah membikin taman di halamannya, tetapi nyaris lupa, rumah estetik tadi belum ada “Tangga”nya.

Konotasi sebuah rumah tanpa tangga, atau rumah tanpa jendela, dalam pembacaan Yusril sebagai orang Minangkabau ternyata menimbulkan kesan kebelumsempurnaan. Boleh dilihat pada sejumlah ungkapan bijak di Minangkabau: Bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Dalam konstelasi Minangkabau, ada aturan main dalam proses naik turun rumah itu. Ini lebih beralasan ketimbang Oedypus yang naik turun ke sebuah ketinggian yang tak jelas.

Kemudian ada pula keberanian-keberanian temporal yang harus dioambil secara dadakan. Berani atau nekad itu terlihat dalam indak kayu, janjang dikapiang/tabujua lalu tabalintang patah (kalau tidak ada kayu,jenjang dikeping/terbujur lalu, terbelintang patah). Tanggayang tadi dihormati pada kesempatan tertentu boleh dikeping, dihancurkan jadi kayu api buat memasak makanan atau sebagai properti untuk bangunan lain. Yang tidak boleh itu adalah berhenti berdialektika hanya gara-gara ada aral melintang.

Idiom-idiom bahkan ideologi sekitar Tangga sangat kompleks. Sebagai sebuah perjunjukan teater, Yusril tentu sudah berdamai dengan itu semua dan cara Yusril berdamai biasanya dengan membongkar elemen atau bahasa Yusril sendiri ‘individu’ rumahnya. Bahkan Tangga untuk menaikinya pun berpeluang untuk dikeping. Begitu juga mungkin terhadap pintu dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi juga, Yusril justru tidak membuat tangga untuk menaiki rumah estetiknya, tetapi malah membuat tangga menuju langit dan mengajak orang-orang meninggalkan bumi. Wah, segalanya belum utuh, masih dalam proses pembuatan menjadi sebuah pertunjukan.

Pertunjukan yang akan digelar pada 21 Juli di STSI Padangpanjang dan 27 juli di Taman Budaya Sumatera Barat ini, hasil hibah-menghibah Komunitas Hitam Putih dan yayasan kelola ini sepertinya menjadi pertaruhan bagi Yusril sebelum orang-orang ia izinkan menaiki Rumah-nya. Selamat bertandang.

Read more...

Guest Room


ShoutMix chat widget

catatan

beberapa catatan kawan kawan

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP