>> Jumat, 13 Februari 2009

(4 April 2008)

Saat Rutinitas Mengepung Hidup Kita


Lama sekali aku tertidur, aku rasa sudah bertahun -tahun. Aku masih ingat, 31 Desember kemarin aku masih sempat terjaga dan terkejut oleh kerumunan manusia. Mereka membakar kembang api dan meniup terompet, dengan gembiranya, manusia sedunia merayakan satu umurnya pada tahun.

Dedi Darmadi, aktor kelompok teater Hitam Putih, berdiri di sisi tempat tidur di tengah panggung. Sebuah jam yang tergambar samar di dinding "kamar", menggerakkan jarumnya, berputar mengikut perjalanan waktu ke waktu. Cahaya menyiram persis ke sentral panggung, tempat si aktor mulai
bermonolog. Tiba-tiba, dia jumpalitan ke lantai yang penuh dengan tepung putih, kontras dengan suasana panggung yang mencekam.

Tak lama, 3 aktor lain (yang menurut Sutradaranya, Yusril, mereka adalah satu yakni tokoh itu sendiri), yang diperankan oleh Hasan, Andi dan Tomi, muncul dari belakang panggung, membawa payung hitam. Di sini, naskah monolog "Tak Ada Sabtu Sampai Minggu, Hanya Siang dan Malam" milik pemenang sayembara penulisan naskah monolog se Indonesia milik Rozaky,
yang dimainkan kelompok Teater Hitam Putih dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Padang Panjang berubah menjadi permainan kata saling sahut menyahut.

Cerita yang bertutur tentang
"memuakkannya" sebuah kehidupan yang penuh rutinitas dibangun secara apik oleh ke empat pemain yang tampil dengan bertelanjang dada. Mereka berteriak lantang, bergantian, menghujat waktu, menghujat hari-hari.

"Tidak usah ada 7 hari, 5 hari atau 2 hari dalam seminggu. Hanya ada siang dan malam..." ujar ke tiga tokoh "pendamping" itu.

"Hari tidak milik anak sekolah, hari tidak milik orang-orang berdasi, hari bukan milik siapapun. Kita harus mengatur waktu bukan waktu mengatur kita..." sambung mereka.

Apa yang ditampilkan teater Hitam Putih ini menurut Yusril, merupakan satu bentuk keprihatinan terhadap betapa manusia sekarang ini sudah terjebak oleh sebuah rutinitas yang membuat kehidupan itu sendiri menjadi membosankan.

"Manusia sudah salah menafsirkan waktu. Kita bergembira saat ulang tahun ataupun pada tahun baru. Padahal esensinya, saat itu usia kita sudah berkurang, dan kita semakin renta," ujar staf pengajar di STSI Padang Panjang ini.

Sebelum Hitam Putih, tampil sebagai pembuka pada acara malam ke enam
RAAF dan TSS-2008 di Rumahitam adalah Kelompok seni Intro dari Payakumbuh. Mereka naik ke atas panggung dengan mengusung musikalisasi puisi.

Suara Iyut Fitra, penyair muda berbakat asal Payakumbuh terdengar berkarakter, di tengah-tengah iringan musik. Begitu pun dengan Aulia, satu-satunya perempuan di kelompok ini yang dengan suara beningnya mampu menghadirkan suasana berbeda saat melantunkan bait-bait puisi milik Gus tf
Sakai berjudul Keranda.

Sementara, Penyair Hasan Aspahani yang tampil berikutnya, mencoba memberi pelajaran kepada yang hadir malam tadi dengan konsep puisi digitalnya. Meski di kancah kepenyairan saat ini, puisi digital (puisi cyber) mulai memiliki komunitas, setelah munculnya komunitas cybersastra yang
tumbuh dari dunia maya (internet), namun apa yang dibawakan Hasan terkesan "kurang bernyawa".

Wajar, mungkin Hasan lupa, siapa yang tengah menyaksikannya. Malam itu, mayoritas dari ratusan penonton yang hadir adalah terdiri dari kaum ibu-ibu serta masyarakat umum. Lain halnya jika puisi digital miliknya yang bertajuk "Siapkah Kita" itu dimainkan di depan seniman-seniman yang sudah "melek" teknologi.

"Saya memang hanya ingin mengenalkan apa itu puisi digital kepada semua kita yang ada di sini. Puisi digital, memang hanya bisa dinikmati di komputer (laptop)," tukas Hasan.

Pementasan lainnya, sebuah tari "Seligi Tajam Bertimbal" yang dibawakan Grup Leksamana, Pekan Baru. Tarian yang dikoreografero oleh SPN. Iwan Irawan Permadi ini bercerita tentang suasana batin yang diterkam dendam cinta segitiga.

Adalah, Wan Sinari dan Wan Inta, dua bersaudara kakak beradik di sebuah
kerajaan. Wan Sinari sangat mencintai Raja Laksemana, tetapi Raja Laksemana malah meilih Wan Inta untuk dijadikan istrinya (permaisuri). Wan Sinari lalu patah hati dan kemudian timbul rasa dendam.

"Nilai yang tersimpan dari kisah ini, makin tinggi rasa cemburu dalam diri seorang perempuan, makin tinggi pula nilai keperempuanannya," kata Iwan.

0 komentar:

Guest Room


ShoutMix chat widget

catatan

beberapa catatan kawan kawan

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP