MUSIM KEMATIAN BUNGA:

>> Jumat, 13 Februari 2009

Asril Muchtar

Malam itu cuaca begitu cerah. Tanda-tanda itu sudah kelihatan sejak siang hingga sore harinya. Langit biru. Tak tampak seonggok awan pun menggantung di angkasa. Padahal beberapa hari sebelumnya Padang diguyur hujan. Inilah barangkali keberpihakan alam kepada Yusril “Katil”, teaterawan dan sineas muda Sumatra Barat, yang juga dosen STSI Padangpanjang. Pada malam (25/6/2006), ia menayangkan karya filmnya, “Musim Kematian Bunga” di Teater Tertutup Taman Budaya Padang. Gedung yang tidak begitu besar itu, dipenuhi oleh kalangan seniman terutama, dan oleh sejumlah mahasiswa. Juga turut hadir Prof Dr Rahayu Supanggah dan Dr Waridi, yang bertindak sebagai penguji. Film ini memang disiapkan sebagai tugas akhir Studi S2 Penciptaan Film di STSI Surakarta. Sebelum penayangan film, terlebih dulu diawali dengan pembacaan puisi “Musim Kematian Bunga” oleh Iyut Fitra dan Risa yang sangat ekspresif sekali. Secara tidak langsung keduanya telah menjadi simbol personifikasi “musim” dan “bunga”.

Film ini merupakan transformasi dari puisi dengan judul yang sama, “Musim Kematian Bunga”, karya Iyut Fitra, penyair Indonesia yang berasal dari Payakumbuh Sumatra Barat. Puisi itu bercerita tentang cinta seorang penyair terhadap seorang perempuan yang berbeda kepercayaan (Islam dan Kristen). Perbedaan ini akhirnya menjadi konflik, dan menyebabkan keduanya menjadi berpisah dan tidak bahagia. Musim dan bunga dalam realitasnya adalah dua entitas alam. Bunga bergantung pada ruang dan waktu (pergantian musim). Tetapi puisi itu diinterpretasikan kembali oleh Katil. Konflik tidak hanya pada perbedaan keyakinan, tetapi juga pada realitas sosial. Pergaulan dalam lingkungan Minangkabau, dewasa ini disinyalir tidak lagi mencerminkan budaya Minangkabau.

Musim diperankan oleh Wendi (alumni jurusan teater ISI Yogyakarta). Ia berperan sebagai seorang penyair Sumatra Barat yang islami. Sementara Bunga diperankan oleh Reni Candra, mahasiswa jurusan tari STSI Padangpanjang. Reni memerankan tokoh Bunga yang kristiani, modern, dan berpenampilan orang kota. Dengan latar belakang penari, tokoh Bunga dimunculkan sebagai seorang koreografer, yang berpentas di berbagai tempat dan event, khususnya di Taman Budaya Padang.

Dalam menunjang kreativitas kepenyairannya, Musim membentuk komunitas sastra yang menekuni penulisan puisi, dan bermain teater. Salah seorang anggotanya Hati, yang diperankan oleh Nora mahasiswa jurusan musik STSI Padangpanjang, sangat tekun mendalami puisi. Nora, secara diam-diam ternyata menaruh simpati yang dalam terhadap Musim, tetapi Musim meresponnya sebatas muridnya saja. Pemunculan identitas koreografer dan Hati, merupakan pengembangan naskah dari teks asli puisi oleh Katil.

Pertemuan Musim dan Bunga yang cukup berkesan, saat Bunga pentas tunggal koreografinya di Taman Budaya Padang. Kepiawaian Bunga menari dan keelokan koreografinya, memberikan decak kagum bagi Musim. Usai pentas, Musim mendekati Bunga dan memberikan ucapan selamat, sembari mengucapkan kata-kata yang penuh puitis dan filosofis. Ungkapan ini menggugah perasaan Bunga, sehingga berlanjut pada diskusi-diskusi yang makin intens di antara mereka.

Pertemuan mereka ini hampir tidak menyisakan waktu buat Hati. Hati seperti kehilangan sesuatu, tetapi ia tidak mau mengungkapkannya. Kekecewaan, kerinduan, dan kesedihannya sering diungkapkannya melalui puisi dan bermain harmonika dengan melodi yang sentimental. Itu ia lakukan berulangkali, sepanjang suasana hatinya tidak nyaman.

Musim dan Bunga makin bersemi. Laksana kuncup bermekaran di musim semi. Ketika situasi ini mereka nikmati, justru benturan-benturan mulai muncul. Hubungan Bunga dengan Musim diketahui oleh bapaknya. Bunga dilarang berhubungan dengan Musim, karena tidak seiman. Sementara Musim mulai goyah dengan identitasnya yang islami dan Minangkabau. Komunitasnya mencium gelagat Musim, tapi apa daya ia sudah terlanjur jatuh cinta pada Bunga.

Akibat tidak konsisten dengan pendirian dan sikap masing-masing, pilihan mereka ternyata berakibat fatal. Kepenyairan Musim ditinggalkan teman dan sahabatnya. Pentas baca puisinya tidak lagi ditonton. Ia menjadi frustasi dalam kesendiriannya dan meninggal dengan tragis. Sementara Bunga, yang minggat dari orang tua atas kekecewaannya, pergi tidak tentu arah. Menggelandang kian kemari. Ia kehilangan jati diri sebagai seorang koreografer, dan frustrasi dalam ketidakberdayaan. Hati dengan ketegaran hatinya, meneruskan karirnya sebagai penulis puisi.

Film yang berdurasi sekitar 80 menit ini, mengambil setting lokasi Payakumbuh, Bukittinggi, Padangpanjang, dan Padang (Taman Budaya). Untuk kalangan masyarakat awam, film ini memang absurd sekali. Film, sebagaimana lazimnya bersifat naratif. Dialog-dialog yang dibangun bersifat natural dan realis, dalam bahasa keseharian. Tidak sulit untuk dipahami. Berbeda dengan film Musim Kematian Bunga, dialog-dialog yang disampaikan oleh aktor dan aktrisnya sangat puitis. Sedikit sekali yang disampaikan dalam bahasa yang natural dan realis. Memang konsep inilah yang ditawarkan oleh Katil.

Sebagaimana ia katakan: “Puisi diciptakan dalam suasana perasaan intens yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Menghadapi puisi, kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun merupakan satu kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair.” Simbol-simbol yang terdapat dalam puisi adalah pada kata-kata. Melalui film ini, Katil mencoba menvisualisasikan dan mempersonifikasikan simbol-simbol itu dalam bahasa gambar. Namun dalam penggarapannya, ia tetap mempertahankan unsur-unsur pengucapan puisi. Disadari bahwa cara ini berakibat, terjadi sesuatu yang tidak natural dan realis.

Secara keseluruhan film ini tentunya juga memiliki sisi lemahnya. Ilustrasi musik yang agak keras, kadang-kadang dominan sekali, terasa sangat mengganggu. Bahkan kehadiran musik pada beberapa adegan, mengalahkan dialog, sehingga dialog antar pemain tidak jelas didengar. Barangkali, sebaiknya tidak semua bagian atau adegan diisi dengan musik secara penuh. Adakalanya musik dimulai dengan feed-in, dan diakhiri dengan feed-out. Tetapi ini memang disadari oleh Katil dan Cholis sebagai penata musik, bahwa pencapaian dan penempatan musik belum maksimal.

Khusus pada editing, pencahayaan, dan ketajaman gambar, Katil hanya terkendala pada peralatan yang digunakan. Amat sulit mencari peralatan yang standar untuk syuting dan proses editing film di Sumatra Barat. Sebagai seorang sineas, secara teknis ia hampir tidak mengalami masalah, kecuali hanya pada peralatan yang digunakan. Selamat Katil. Kalau tidak keliru, Anda adalah orang pertama Magister Film di Indonesia produk perguruan tinggi Indonesia.

Padangpanjang, 4 Juli 2006

Asril Muchtar

Pengajar STSI Padangpanjang

Juni 18, 2008

0 komentar:

Guest Room


ShoutMix chat widget

catatan

beberapa catatan kawan kawan

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP