tangga

>> Minggu, 23 November 2008

by. iyut fitra

di timur matahari akan terbit

kawanan orang-orang bergerombol itu bertemu pendakian, kita, setumpak pencarian

gaduh dalam zikir. tasbih airmata menuju langit, puncak dari waktu

terjemahkanlah, wahai, beku batu-batu. siapa memancang istana di udara jauh

memancang singgasana di tinggi labirin

dan kawanan orang-orang bergerombol, kita, saling sikut berebut tempat

mencari arah matahari. atau di mana bulan jatuh

“sorga!” kau dengar sayat itu?

gelombang nada membakar tanah-tanah. meluap darah

di padang-padang hampar. kitalah para penunggang berpedang

menebas jalan-jalan

menebas harapan

kemudian terlantun sepantun dendang; berjenjang naik, bertangga turun

orang-orang, (dan juga kita) bersikejar naik turun mencari-cari

bahkan saling membakar sebelum segala kembali gelap

di manakah matahari itu?

bergelisahan orang-orang terus menuju. menebaskan pedang-pedang

pada satu cahaya yang jauh. o, tahta!

ada yang terbujur lalu. ada yang terbelintang patah

sementara nasib demi nasib terus saja dibantai entah atas nama apa

-tangga!

Kau dan saya tak tahan pada perih,

lalu menanjaki cobaan selanjutnya

untuk meneduhkan hasrat dari kuyup.

Tetapi kau dan saya

menjadi jenuh pada nyaman.

Di mana setiap lelah, putus-asa

dapat kau baringkan di setiap ruang.

Oh…, ketenangan!

Ternyata ketenangan juga merindu keperihan.

Lantas kau kembali menuruni jenjang

dan mencari pilu untuk disimpan.

Mengapa kau dan saya

tak rela kedatangan cemas, sebelumnya?*)

-o, tidak! keperihan tak menuruni jenjang

luka menerjang naik menghujam hari. melupakan hati

kau lihat orang-orang mengorbankan langkah dan darah

berselendang nafsu mereka berburu ke pintu-pintu. melewati tangga-tangga

tak hirau pada cemas dan naas. mengorbankan diri juga negeri

untuk kedamaian

-tangga!

-mengapa harus tangga?

-jalan menuju tahta!

-untuk siapa?

-kita!

-juga mereka!

-o, cakrawala kekuasaan. betapa telah kau ciptakan semesta dukalara

kami adalah orang-orang kehilangan dalam mencari

orang yang tak mengerti lagi tentang arti

di singgasana bertahta mahkota. di tebing demokrasi dianjungkan

sekian juta di antara kita larut dalam salut. sebagiannya mengasah pedang

ingin merampasnya. kau lihat barisan penunggang itu telah mencapai batas?

napasnya haus. dan negeri akan tenggelam

dalam dendam

-tangga!

wahai, orang-orang yang mencari tangga. naiklah!

proklamirkan perdamaian pada burung-burung bangkai di langit sebelum mendung turun

sebelum darah menjadi sungai-sungai kematian

yang akan menidurkan anak-anak kita

di timur matahari akan terbit

maka kawanan orang-orang bergerombol itu, kita, seolah-olah menyembah

ketika waktu berhenti mati

serak mayat. ibu-ibu di pengungsian. atau kanak-kanak yang kehilangan tepian

adakah mereka, adakah kita pernah menghitungnya

selain tangis yang kita simpan di meja makan

dan perjalanan yang terus menuju pendakian

lalu dendang itu terus; berjenjang naik, bertangga turun

naik turun yang membangun perisai di tiap detik merasai

orang-orang, kita, mencoba mengukuhkan diri atas sesuatu yang tak pasti

di manakah matahari?

di mana hidup dapat ditahankan bila setiap saat orang-orang berlagu tentang

kekuasaan

-dengarlah, kusampaikan padamu sebaris kisah

di sebuah gunung merapi yang dulu sebesar telur itik, lama setelahnya, dari dua lelaki seibu

berbeda ayah lahirlah sistem bernama laras

dua lelaki yang berbeda pikiran. orang menyebutnya koto piliang dan bodi caniago**)

berjenjang naik, bertangga turun dan duduk sehamparan, tegak sepematang

bagai lukisan perdamaian

dari dua simpang yang bersilang. cairlah kata sepakat

dalam kurun dan musim. dalam waktu-waktu lalu

orang-orang bernyanyi di tepian. bersenandung di halaman

inilah matahari! inilah matahari!

mereka menjerit-jerit di antara lumbung-lumbung dan padi

berlarian di sawah-sawah basah

tapi siapa yang menetaskan peradaban?

hingga kisahku kini legenda. tangga-tangga putih menjelma lintasan ke kekuasaan

orang-orang mengusungnya ke mana pergi di keliling pedang-pedang

para penunggang pun lahir dari demokrasi yang silam

kenangan,

negeri ini tak lebih kenangan!

-lalu ke mana ke dua lelaki itu?

-pulang ke gunung merapi

-adakah sesuatu yang mereka tinggalkan?

-kenangan!

-siapa yang menyimpan?

-orang-orang, dan kita!

tapi tak ada lagi yang mampu menetaskannya

kita kalah oleh waktu. kita kalah oleh birahi yang menggeliat setiap hari

kita tak lebih dari gerombolan penunggang berpedang yang memburu

tangga-tangga tak bermakna

-tangga!

-ya, kita butuh tangga!

-kita harus naik dan mencari damai yang pernah

-tanpa darah!

-darah?

-tanpa kematian!

di timur matahari akan terbit

kawanan orang-orang bergerombol itu, kita, siapa yang masih menyimpan kenangan

sesilam damai yang lampau. jalan-jalan ke tepian yang aman

keris hanya ditikamkan ke batu

dan salam diulurkan dalam mufakat

tapi mereka, kawanan orang-orang bergerombol, kita, hanya mengadukan luka pada ciuman

pada zikir dan tasbih airmata. sebab di sepanjang tangga pesta itu berlangsung

orang-orang terus membangun sumur

bagi darah-darah, dan kematiannya sendiri

di timur matahari akan terbit

kawanan orang-orang bergerombol itu, kita, terus melanjutkan pendakian

mencari matahari

Payakumbuh, April 2007

Catatan: *) Dikutip dari puisi Feni Efendi yang juga berjudul Tangga.

**) Sistem pemerintahan di Minangkabau.

Guest Room


ShoutMix chat widget

catatan

beberapa catatan kawan kawan

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP